Friday, April 14, 2006

TANA TORAJA (DAY ONE)

Saat liburan telah tibaa....!!!! Kesempatan untuk dapat menghabiskan waktu lebih panjang dari akhir pekan biasanya datang April 2006. Hari jum’at tanggal 14 April 2006 merupakan hari libur nasional, sehingga kita-kita yang pekerja kantoran bisa sedikit bernafas lebih lega, lepas dari pekerjaan sehari-hari. Mumpung lagi tugas di Makassar (dan tak lama lagi ditarik ke Jakarta), kesempatan untuk main-main ke daerah eksotis di Sulawesi Selatan tidak boleh di sia-siakan. Bersama seorang kolega (duuh... bahasanya :D ), Ricco Bonar Simanjuntak selanjutnya cukup disebut Cobo, kami berencana menghabiskan akhir pekan di Tana Toraja.

Kamis malam pukul 21.00 merupakan waktu yang ditentukan untuk berangkat ke Toraja. Sialnya, hari kamis malam ini, saya masih ada acara perpisahan beberapa rekan kantor yang akan dipindah ke Jakarta, Bandung dan Surabaya (termasuk saya yang dipindah ke Jakarta). Bertempat di Restoran Losari Beach (yang menjadi tempat favorit utk acara-acara semacam ini), baiasanya acara belangsung sejak ba’da Maghrib sampai malam. Sejak pukul 19.00 saya sudah gelisah sekali, ingin segera angkat kaki dari acara, tapi agak sungkan dengan Bos besar yang hadir malam ini. Sampai akhirnya saya memutuskan utk pamit minta ijin pulang pukul 20.00 WITA.

Taksi Putra yang saya stop, saya minta untuk dipacu. Bagaimanapun juga sebelum jam 21.00 WITA harus sudah sampai terminal Daya di bagian timur Makassar, termasuk menjemput Si Cobo di kost di daerah Urip Sumohardjo. Alhamdulilah dengan menahan napas, sepanjang perjalanan. akhirnya sampai juga di Terminal Daya tepat pada waktunya. Ternyata keberangkatan hanya menunggu kami, setelah kami datang Bus AKDP bergegas berangkat menuju, ke Toraja.

Perjalanan selama 8 Jam, kami lalui dengan nyaman. Dengan tiket seharga Rp. 225 ribu kami sudah bisa sampai ke sampai ke Rantepao (Ibu Kota Toraja) bus ini memberikan pengalaman perjalanan yang relatif nyaman (Full AC, Full Audio-Video serta Reclyning Seat). Sepanjang perjalanan saya tidak banyak menghabiskan waktu dengan tidur. Saya lebih banyak terjaga menikmati perjalanan menyusuri Pantai Timur Sulawesi yang baru pertama kali saya lakukan (disamping saat itu sedang ada menelpon saya berjam-jam lama-nya he..he.. :) ). Kota-kota yang kami lewati begitu indah, bersih serta alami, sepanjang jalan merupakan lautan, hutan atau gunung, mungkin pemandangan seperti ini tidak akan ditemukan di Pulau Jawa.

Pukul 05.00 WITA kami sampai di Rantepao, dan berdasarkan saran seorang kawan (Thanks to Mathius Badeng, yang juga menemani perjalan kami sekalian pulang kampung ke Toraja), kami langsung menuju ke Hotel Misiliana. Hotel ini merupakan hotel kelas ***, kalo dibandingkan dengan harga hotel di Jakarta, atau Surabaya tarif hotel ini relatif murah, terlebih lagi fasilitasnya juga cukup lengkap, worth to try guys. (Review tentang hotel ini akan saya tulis belakangan).

Setelah check-in, kami berniat menyewa sebuah kendaraan untuk membawa kami berkeliling Toraja. Terus terang saja, kami tak mempunyai banyak referensi tentang tempat persewaan kendaraan yang cukup baik. Daripada bingung, kami meminta informasi ke resepsionis. Tak berapa lama, kami telah dihubungkan dengan pemilik kendaraan di sana dan melakukan negosiasi sendiri. Jujur saja, saya agak sedikit surprise dengan tarif yang diminta untuk tur 2 hari penuh termasuk supirnya. One word, Murah!!! ya udah deh mobil ini kami ambil.

Sejam kemudian setelah kami ganti pakaian, mandi dan sarapan seadanya, tepat pukul 07.00 WITA kami di jemput Daeng Nasan Tandilino untuk berpesiar. Kunjungan pertama kami.....

LEMO

Photobucket Menurut Pak Nasan, Lemo terletak di Lembang (Desa) Lemo. Daya tarik utama Lemo antara lain adalah Liang Paa, Tau-tau, serta Bangunan Tongkonan (rumah adat) sasana budaya. Berada di km 9 jurusan Makale-Rantepao masuk dari jalan besar kurang lebih 600 meter. Lemo adalah salah satu kuburan leluhur Toraja, hasil perpaduan antara ciptaanNya dengan kreasi tangan terampil Toraja pada abad XVI (dipahat) atau Liang Paa'. Jumlah lubang batu kuno ada 75 buah dan tau-tau yang tegak berdiri sejumlah 40 buah sebagai lambang prestise, status, peran dan kedudukan para bangsawan di Desa Lemo. Semakin tinggi letak kubur-nya berarti semakin tinggi pula derajad sosial-nya di daerah tersebut. Diberi nama Lemo oleh karena model liang batu ini ada yang menyerupai jeruk bundar dan berbintik-bintik.

Konon sejak 1960an, obyek wisata ini telah ramai dikunjungi oleh para wisatawan asing dan domestik. Gambar di atas merupakan gambar saya (tentu saja he..he..) dengan latar belakang Lemo yang legendaris tersebut. Apabila punya duit, pengunjung dapat pula membelanjakan dollar atau rupiahnya pada kios-kios suvenir yang ada di sekitar Lemo. Atau kalau tidak, dapat berjalan-jalan di sekitar obyek wisata ini menyaksikan buah-buahan pangi yang ranum kecoklatan yang siap diolah dan dimakan sebagai makanan khas suku toraja yang disebut "Pantollo Pamarrasan". Secara umum pemandangan di daerah ini sungguh alami dan hijau, saya menghabiskan waktu beberapa lama di sini untuk menikmati pemandangan..

UPACARA ADAT

Anda-anda termasuk beruntung”, ujar Pak Nasan. “Memang kenapa Pak?”, tanya saya. “Biasanya orang datang ke Toraja untuk menikmati wisata alam dan wisata budaya-nya (upacara adat). Kebetulan minggu ini ada upacara pemakaman di sini”, tandas Pak Nasan sambil mengemudikan kendaraannya menuju ke tempat tersebut.
Menurut Wikipedia, Di wilayah Kab. Tana Toraja terdapat dua upacara adat yang amat terkenal , yaitu upacara adat Rambu Solo' (upacara untuk pemakaman) dengan acara Sapu Randanan, dan Tombi Saratu', serta Ma'nene', dan upacara adat Rambu Tuka. Upacara-upacara adat tersebut di atas baik Rambu Tuka' maupun Rambu Solo' diikuti oleh seni tari dan seni musik khas Toraja yang bermacam-macam ragamnya.

PhotobucketNah, yang diucapkan Pak Nasan tersebut adalah Rambu Solo’, yang merupakan sebuah upacara pemakaman secara adat yang mewajibkan keluarga yang almarhum membuat sebuah pesta sebagai tanda penghormatan terakhir pada mendiang yang telah pergi. Masih berdasarkan wikipedia, upacara Rambu Solo’ terbagi dalam beberapa tingkatan yang mengacu pada strata sosial masyarakat Toraja, yakni : Dipasang Bongi (Upacara pemakaman yang hanya dilaksanakan dalam satu malam saja). Dipatallung Bongi (Upacara pemakaman yang berlangsung selama tiga malam dan dilaksanakan dirumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan). Dipalimang Bongi (Upacara pemakaman yang berlangsung selama lima malam dan dilaksanakan disekitar rumah almarhum serta dilakukan pemotongan hewan. Serta Dipapitung Bongi (Upacara pemakaman yang berlangsung selama tujuh malam yang pada setiap harinya dilakukan pemotongan hewan).

PhotobucketPak Nasan sendiri bercerita, kalau acara telah berlangsung 5 hari, jadi mungkin yang sedang kami kunjungi ini adalah merupakan upacara Dipapitung Bongi, mengingat saat kami datang upacara semacam misa masih berlangsung. Sebagai gambaran, tempat upacara yang kami datangi merupakan sebuah tanah luas, mirip lapangan kalo boleh saya bilang, di sekelilingnya dibangun pondok-pondok dari bambu yang sangat banyak, hampir mengelilingi lapangan dan dibuat dua tingkat. Pondok-pondok ini dibangun untuk menampung para kerabat, undangan ataupun masyarakat lainnya. Kami sempat berfoto di beberapa sudut lokasi upacara. Pada beberapa spot kami lihat bekas noda darah bercampur tanah, mungkin bekas penyembelihan kerbau, selain itu saya berasa membaui aroma anyir darah saat itu, dan yang lebih penting suasana magis dan khusu’ sangat terasa di sini. Sembari meninggalkan tempat upacara Pak Nasan bercerita kalau upacara semacam ini akan menghabiskan banyak biaya.

LONDA

PhotobucketSetelah makan siang di Rantepao, Pak Nasan mengajak kami melanjutkan perjalanan ke Lembang Sandan Way, dan di situ terletak makam kuno Londa yang kompleks kuburan kuno yang berada di dalam gua. Di bagian luar gua terlihat boneka-boneka kayu khas Toraja. Berdasarkan “Tour Guide” kami sekaligus yang menyewakan petromaks mengungkapkan bahwa patung tersebut merupakan replika atau miniatur dari jasad yang meninggal dan dikuburkan di tempat tersebut. tandas-nya lagi, boneka tersebut hanya diperuntukkan bagi bangsawan yang memiliki strata sosial tinggi, warga biasa tidak bisa dibuat patungnya. Patung-patung tersebut, menurutnya seringkali menjadi incaran para pencuri. Di luar negeri harganya bisa mencapai puluhan juta rupiah, karena kandungan seni dan nilai budayanya, lanjutnya.

PhotobucketSatu hal yang menarik, Di Londa ini juga terdapat mitos tentang Romeo dan Juliet ala Tana Toraja. "Konon, dulu ada sepasang kekasih yang tidak direstui hubungannya oleh keluarga. Karena merasa putus asa, keduanya kemudian melakukan bunuh diri bersama terjun dari tebing. Oleh keluarga, mayat mereka kemudian diletakkan di dalam gua secara berdampingan," tuturnya. Di dalam gua sendiri, banyak terdapat tulang belulang manusia yang diletakkan begitu saja di tanah, maupun di dinding gua. Gambar di atas merupakan gambar kami (saya, Cobo & Tour Guide kami) berpose diantara tulang belulang manusia (kamera dijepret menggunakan timer, bukan yang lain-lain yaa... :) low light-nya keren kan? Itu dari pancaran sinar petromaks).

Setelah mengabiskan waktu beberapa lama, mengamati pemandangan di Londa, kami memutuskan untuk segera kembali ke Hotel. Maklum sudah sore, dan tak ada lagi tempat lain yang dapat kami kunjungi malam hari. Sebenarnya Pak Nasan hendak menawarkan ’wisata’ lainnya kepada kami, tapi apa boleh buat, kami terlampau capek hari ini, dan segera ingin recharging energi untuk tour esok hari... :D

2 comments:

Pulu Jinabun said...

perjalanan yang menarik. saya berencana menjelajahi Sulawesi tahun 2009 nanti, semoga terwujud. sedikit koreksi dr tulisan anda, kalau saya tidak salah mengartikan, anda berangkat dari Makasar ke Rantepao malam hari, tp anda bercerita anda dapat menikmati pemandangan sepanjang perjalanan tersebut. pertanyaan saya, kalau malam hari, pastinya gelap semua kan pak?

inside-reza.com said...

Terima kasih dah mampir Pak Ganthang, semoga rencana Anda terwujud dengan sempurna di Tahun 2009! Jangan lupa persiapan yang cukup yah :D

Bener sekali saya berangkat dari Makassar ke Rantepao, Ibu Kota Tana Toraja malam hari. Adalah memang benar saya dapat menikmati pemandangan terutama karena 2/3 perjalanan saya terjaga, kalaupun tidur hanya tidur2 ayam :), selain itu lokasi duduk saya persis di deretan penumpang terdepan (Kiri), bersebelahan dengan pintu keluar, sehingga pandangan saya bebas (tak terhalang Sopir Bus yang duduk di sebelah Kanan).

Memang benar gelap, namun tanggal 13 merupakan tanggal bulan hampir sempurna, belum lagi tambahan sorot lampu utama Bus. So, masih kelihatan kok Pak betapa Indahnya jalan yg dilewati.

Jika nanti berkesempatan jalan dari Makassar ke Rantepao malam hari, cobalah jangan tidur. Terlalu sayang untuk dilewatkan, terutama pantai di Pare-pare :D