Monday, July 11, 2005

SENJA ANGKRINGAN DEPAN STASIUN TUGU

.. lapar banget sore ini, ayam goreng kremesan kelangenanku tak kudapatkan, warungnya tutup. Jika aku datang ke jogja ada banyak hal yang ingin aku rasakan kembali, ya diantaranya adalah makanan-makanan yang enak tur murah.. Sate-tongseng Jombor, 1001 macam masakan panas, steak waroeng, soto lamongan umbulharjo, lotek colombo, juga ayam goreng kremesan tiruan suharti pogung... Dan Sore ini aku hendak kembali ke Jakarta, kembali pada rutinitas yang membosankan. Dua hari tak membuatku cukup puas menikmati kota yang bersejarah ini.

16.50 adalah waktu yang ditunjuk oleh jam tangan jelekku ketika aku turun dari KOPATA jalur 4, Masih sore.. kulihat kiri kanan masih cukup ramai, setelah beberapa lama menanti jalanan sepi aku menyeberang jalan. Rasa lapar membuatku balik kanan menuju tempatku turun tadi.

Warung Angkringan ini sepi.. hanya ada Mas penjual dan seorang Sopir taksi yang lagi asyik menyeduh kopi panasnya.. "Pesen opo Mas?", sapa penjual ramah. "Es Teh Jahe wae..", Sambutku sambil meletakkan barang bawaanku, tas dan oleh-oleh Bakpia Kering Rasa Keju, pesenan temen-temen di jakarta. Mas penjual tampak asyik mengaduk minuman pesenanku, umurnya mungkin baru 20an tahun, mukanya gelap seperti terkena sinar matahari terlalu lama, di kuping kirinya terdapat sebuah anting perak, di tangannya terdapat tato. Mungkin bagi sebagaian orang penampilannya menyeramkan, tapi memang sebaiknya tidak menilai buku dari sampulnya...



"Iki mas..", Mas penjual mengulurkan segelas Es Teh Jahe. "Iki sing Sambel sing endi?", tanyaku sambil membolak-balik tumpukan nasi kucing yang ada di depanku.. "Biasa mas, sing godonge kuwalik..". Entah menjadi sebuah kesepakatan, simbol pembeda antara Sego Kucing Sambel Teri atau kering tempe terletak pada penanda "Godong (daun)". Bungkus yang menggunakan kertas koran dan sedikit penanda "godong kuwalik" berarti sego kucing yang dilumuri sambel teri, demikian juga sebaliknya, kalau godongnya tidak terbalik berarti sego kucing dengan lauk kering tempe. Jangan bayangkan bahwa Nasi bungkusan itu sperti nasi rames atau apa.. Kalau bisa digambarkan, Sego kucing itu adalah nasi segenggam tangan, ditambah sedikit sekali sambel teri atau kering tempe sebagai lauk. Tak sulit menghabiskan sebungkus Sego Kucing, tiga kali suapan pasti habis. Mungkin ini adalah asal mula nama "Sego Kucing (Nasi Kucing)", karena porsinya hanya cukup untuk seekor kucing. Harganya sangat murah 500 rupiah, bahkan dulu pada tahun 1999 harganya masih 300 rupiah.

Setelah membuka satu, aku memilih tahu isi sebagi teman makan.. Nikmat tenan... Sewaktu masih kuliah keberadaan warung angkringan seperti ini sungguh sangat membantu untuk menyelamatkan diri hingga awal bulan.. Tempat-tempat seperti ini juga mengingatkan pada masa-masa dulu, ketika masih sering jalan bareng teman-teman, nongkrong, ngrumpi, ngomong kuliah-politik-atau omong kosong sing saru. Duduk lamaaa, 2-3 jam dengan menghabiskan beberapa gelas teh jahe sudah cukup untuk melakukan kontemplasi..

Sebungkus Sego kucing sudah aku habiskan, ketika hendak mengambil bungkus yang kedua, datang seorang pembeli yang lain. Laki-laki tinggi kurus dengan rambut "dreadlock" gaya bob marley.. di pundaknya tergantung tempat kertas kalkir, seorang mahasiswa arsitek smester 7 katanya kemudian setelah berbasa-basi berpuluh menit kemudian..

Dua bungkus sego kucing, tiga buah tahu goreng dan sebungkus krupuk sudah aku sikat habis.. Arlojiku menunjukkan pukul 17.15, masih sejam lagi kereta senja membawaku ke Jakarta.. Aku membalikkan badan menghadap jalan, membelakangi Angkringan.. Sore ini Jogja begitu ramai.. Mobil, motor saling berebut dengan kentut asapnya membuat muak.. Jogja dulu tak begini, kata orang-orang tua, dulu Jogja sungguh bersih banyak sepeda, becak, andong.. Tapi sekarang..???

Seorang laki-laki dengan pakaian kumal, bertelanjang kaki datang menghampiri angkringan. Seorang bocah laki-laki kecil tampak bergayut manja di leher yang kurus itu. Laki-laki itu berwajah persegi, mukanya mengkilat hasil dari perpaduan keringat dan cahaya temaram sore itu. Perawakannya kurus kecil, dengan otot menojol kekurangan gizi.. Matanya sayu menunjukkan kelelahan yang luar biasa.. Dengan senyumnya yang ramah dia menyapa penjual angkringan, "Mas tolong dibuatin teh hangat, berapa harganya?", "500 pak..". Laki-laki itu mengeluarkan uang dalam lipatan kecil yang jumlahnya hanya 2000 rupiah dari balik tas kresek yang dibawanya.. "Nasinya berapa?" tanyanya lagi. "500", jawab penjual singkat.. Setelah tampak berfikir, dia mengambilnya.. Sambil menunggu Teh selesai dibikin, dia menawari bocah kecil itu makanan yang ada di depannya. Bocah itupun menunjuk setusuk sate usus.. "Berapa?", tanya lelaki itu. "500". Sejurus kemudian, sate telah berpindah di tangan bocah kecil itu. "Mas saya boleh minta airnya?" Tanya laki-laki itu sambil mengulurkan botol bekas air mineral yang tampak menguning.. "Boleh, di isiin d sini?" tanya penjual angkringan...

Setelah semua selesai, Laki-laki itu memasukkan 500 rupiah kembalian ke dalam tas kresek merah kumalnya. Kemudian bergegas pergi entah kemana. Dalam perginya, ia masih sempat bercanda dengan bocah kecil dalam gendongannya... Duh Gusti.. Jika aku dapat kesempatan aku ingin membayar 1500 belanjaannya, yang mungkin bagiku tak ada artinya.. Ingin sekali aku berbagi kebahagiaan dengannya..

Sore ini aku belajar banyak, bahwa seharusnya aku sungguh-sungguh bersyukur atas nikmat yang diberikan.. Sore inipun aku kembali diingatkan bahwa ada orang-orang yang termarginalkan, terpinggir, dan tak berarti apa-apa.. Aku menjadi takut bahwa rasa empatiku menjadi tumpul dan mati.. Sekarang aku hidup dalam dunia yang lain dari biasanya aku hidup, mungkin ini namanya ujian, bagaimana aku harus mempertahankan rasa kemanusiaan yang makin pudar dari perasaanku. Aku ingin sekali membantu orang-orang ini dengan tanganku sendiri.. Aku sering membayangkan bagaimana rasanya menjadi laki-laki kumal itu.. Serba terbatas, dan terpinggirkan.. Namun yang masih belum bisa aku mengerti bagaimana cara bersyukur, merasa cukup, dan berbahagia seperti laki-laki itu.. dalam gontai jalannya membawa beban, laki-laki itu masih bisa menunjukkan kasih sayangnya pada bocah kecil itu, yang entah siapa..

17.20, 3000 rupiah aku serahkan untuk makanku sore ini.. aku bergegas masuk stasiun yang tampak temaram...

Jogjakarta, Sore 10 Juli


Stasiun Tugu Jogja, sore menjelang malam (Photography by Reza, Fuji Finepix FX-S5000 UZ & Fujinon EBC Eqv 37-370mm 1:2.8-5.6)

Kereta Senja Jogja sedang menunggu keberangkatan ke Jakarta (Photography by Reza, use Fuji Finepix FX-S5000 UZ & Fujinon EBC Eqv 37-370mm 1:2.8-5.6)

2 comments:

iYung said...

wah.. keren nih bro!

inside-reza.com said...

Thank you bro, atas commentnya :)